2.1
Definisi
Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan
lumbalis akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas,
kecelakakan olah raga dsb ( Sjamsuhidayat, 1997).
Sedangkan
cedera servikal sendiri adalah cedera pada cervical dimulai dari cervical 1
sampai cervical 7 yang diakibatkan adanya trauma.
2.2
Etiologi
1. Jatuh dari ketinggian
2. Kecelakakan lalu lintas
3. Kecelakakan olah raga
2.3
Klasifikasi
Cedera tulang belakang servikal secara tradisional dibagi atas fraktura dan dislokasi
tulang belakang servikal atas serta bawah. Cedera tulang belakang servikal atas
adalah fraktura atau dislokasi yang mengenai basis oksiput hingga C2.
Cedera tingkat ini jarang pada dewasa, merupakan kurang dari 25% fraktura dan
dislokasi pada tulang belakang servikal. Pada anak- anak, kebanyakan cedera
tulang belakang servikal adalah terjadi pada tingkat atas. Cedera tulang
belakang servikal bawah termasuk fraktura dan dislokasi ruas tulang belakang C3
hingga C7. Ruas tulang belakang C5 adalah yang tersering
mengalami fraktura. Cedera pada tulang belakang tingkat bawah lebih sering
berkaitan dengan cedera kord spinal, mungkin karena rasio daerah potongan
melintang kanal spinal terhadap kord spinal lebih kecil pada tulang belakang
servikal bawah dibanding atas. Karena anatomi dan catu vaskuler kord spinal
yang unik, berbagai sindroma tidak lengkap dapat dijumpai pada cedera kord
spinal servikal. Pada sindroma ini, fungsi sensori dan motor tertentu terganggu
atau hilang, namun lainnya tetap utuh.
Cedera sevikal dapat juga di bagi menjadi 4 jenis
yaitu :
3
|
1.
Sindroma kord
sentral
Paling
sering dijumpai setelah suatu cedera hiperekstensi servikal. Karena sebab
tertentu seperti keadaan mekanik dan catu vaskuler dari kord, bagian sentral
dapat mengalami kontusi walau bagian lateral hanya mengalami cedera ringan.
Khas pasien mengeluh disestesi rasa terbakar yang berat pada lengan, mungkin
karena kerusakan serabut spinotalamik, mungkin saat ia menyilang komisura
anterior. Pemeriksaan fisik menunjukkan kelemahan lengan, dengan utuhnya
kekuatan ekstremitas bawah. Sebagai tambahan, sensasi nyeri dan suhu hilang
dalam distribusi seperti tanjung. Semua lesi yang menyebabkan cedera primer
terhadap kord spinal sentral dapat menimbulkan gambaran defisit serupa, seperti
siringo- mielia, tomor kord spinal intrinsik, dan hidromielia. Sindroma ini secara
jarang dapat terjadi pada kord spinal bawah (konus medularis).
2.
Sindroma
arteria spinal anterior
Terjadi
karena arteria ini mencatu substansi kelabu dan putih bagian ventrolateral dan
posterolateral kord spinal. Kerusakan arteria ini berakibat sindroma klinis
paralisis bi- lateral dan hilangnya sensasi nyeri serta suhu dibawah tingkat
cedera, namun sensasi posisi dan vibrasi (fungsi kolom posterior) utuh. Lesi
arteria ini bisa karena cedera tulang belakang, neoplasma yang terletak
anterior (biasanya metastasis) dan cedera aortik.
3.
Sindroma
Brown-Sequard
Pada
bentuk yang murni, menunjukkan akibat dari hemiseksi kord spinal. Defisit
neurologis berupa hilangnya fungsi motor ipsilateral, sensasi vibrasi dan
posisi. Sebagai tambahan, sensasi nyeri serta suhu kontralateral hilang. Luka
tembus dan peluru dapat menimbulkan sindroma Brown-Sequard 'lengkap', namun
manifestasi tak lengkap sindroma ini tampak dengan berbagai ragam pada lesi
lain, termasuk trauma dan neoplasma.
4.
Sindroma kolom
posterior
Terjadi
bila kolom posterior rusak secara selektif, berakibat hilangnya sensasi vibrasi
dan proprioseptif bilateral dibawah lesi. Temuan ini tersering dijumpai
sekunder terhadap kelainan sistemik (neurosifilis), namun secara jarang
dijumpai setelah trauma kord spinal.
2.4
Manisfestasi
Klinis
Gambaran klinis disfungsi neurologis akibat DAO bisa dibagi
kedalam lesi yang mengenai batang otak, saraf kranial, kord spinal atas, dan
akar saraf spinal. Banyak pasien yang disertai cedera kepala hingga memperrumit
gambaran neurologis. Cedera batang otak walau sering pada DAO, tidak selalu
tampil lengkap. Postur deserebrasi atau adanya kehilangan fungsi batang otak
lengkap mungkin tampak, walau sulit untuk memastikan apakah seluruhnya akibat
DAO pada pasien yang disertai cedera kepala. Kerusakan piramidal diskreta mungkin
mengakibatkan paraparesis.
Ketidakstabilan kardiopulmoner berakibat bradikardia, respirasi yang
irreguler, atau bahkan apnea dapat terjadi setelah kerusakan batang otak.
Kerusakan batang otak berat paling mungkin sebagai penyebab kematian yang
tinggi. Dislokasi kranioservikal mungkin berakibat avulsi atau peregangan saraf
kranial bawah. Saraf kranial keenam, sembilan hingga duabelas, adalah yang
terutama berrisiko. Etiologi sebenarnya disfungsi saraf keenam sulit dipastikan
pada pasien yang disertai cedera kepala. Hipertensi berat mungkin timbul bila
kedua sinus karotid mengalami denervasi setelah cedera saraf kesembilan.
Gangguan fungsi kord spinal atas berakibat kuadri- plegia, walaupun hemiparesis
lebih sering terjadi pada pasien dengan DAO (setiap disfungsi motori mungkin
juga menunjukkan cedera batang otak). DAO traumatika mungkin juga disertai
cedera akar servikal.
Cedera unilateral multipel pada akar servikal bisa menyerupai lesi
pleksus brakhial. Sebagai tambahan atas kerusakan neural langsung, cedera
arteria vertebral mungkin menyebabkan iskemia atau disfungsi neural. DAO
berhubungan dengan kompresi, robekan intimal, spasme, dan trombosis pembuluh
ini. Beberapa pasien dengan DAO bisa dengan defisit yang timbul tidak sejak
awal. Ini mungkin karena trauma tambahan terhadap sistema saraf (sekunder
terhadap pergerakan pada tulang belakang yang tak stabil) atau terhadap masalah
lain seperti iskemia akibat emboli atau trombosis pembuluh yang rusak. Pasien DAO
sering dengan cedera berganda dan karenanya harus dinilai secara lengkap atas
cedera lainnya.
Semua korban kecelakaan, terutama dengan cedera kepala dan leher, harus
diduga mengalami DAO. Pengelolaan awal adalah mempertahankan ventilasi adekuat
dengan tulang belakang servikal diimmobilisasi pada posisi netral. Intubasi
nasotrakheal harus dilakukan pada pasien yang memerlukan perlindungan jalan
nafas atau menderita distress pernafasan. Bila gagal atau sulit,
trakheo- stomi harus segera dilakukan. Terdapat kontroversi akan keamanan dan
manfaat traksi pada tahap awal pengelolaan pasien. Walau ada dugaan struktur
neural akan terganggu oleh traksi, hingga saat ini hal ini tak pernah
dilaporkan dengan jelas.
Pembagian DAO menjadi tiga jenis berguna untuk membimbing terapi awal.
Pasien dengan DAO jenis II, masalah primer adalah distraksi longitudinal,
karenanya traksi mungkin akan menyebabkan distraksi lebih jauh, karenanya
dikontraindikasikan. Namun pada pasien dengan DAO jenis I (anterior) dan III
(posterior) dan defisit neurologis, traksi diindikasikan untuk mengembalikan
struktur tulang dan untuk mendekompresi elemen neural. Resolusi yang cepat dari
defisit neurologis major didapatkan untuk pasien jenis I dan III yang ditindak
dengan cara ini. DAO jenis I atau III yang berdiri sendiri-sendiri tidak mutlak
merupakan suatu keharusan untuk pemasangan traksi. Bila malalignmentnya
hanya minimal, dan/atau defisit ringan, mungkin realignment bisa
dipertanggung- jawabkan dengan pengaturan posisi secara hati-hati dengan
bantuan fluoroskopi. Hanya pada keadaan mis- alignment yang parah atau
defisit neurologis major, traksi bisa dipertimbangkan. Tindakan dengan traksi
harus hati-hati, beban 2.5 kg atau kurang. Beban
yang berlebihan harus dicegah, pengamatan ketat radiologis dan neurologis
diperlukan. Setelah adanya perbaikan dari defisit atau realignment
radiografik dari tulang belakang, traksi bisa dikurangi hingga 0.5-1kg, atau
bahkan dihentikan serta pasien diimmobilisasi. Setiap traksi dengan beban
ringan tersebut harus dilakukan dengan alat halter servikal.
Perhatian khusus diarahkan pada pemeliharaan jalan nafas yang adekuat.
Traksi bisa juga dengan tong Gardner-Wells atau ring halo. Anak
memerlukan pertimbangan khusus. Setelah usia 4 tahun (dan mungkin sejak dua
tahun) sudah cukup perkembangan kalvaria yang aman untuk pemasangan tong.
Bila jarak interpin minimal dari tong Gardner-Wells sangat besar untuk
memungkinkan fiksasi adekuat dari tengkorak yang masih kecil, tong
University of Virginia mungkin merupakan alternatif. Alat halo mungkin juga
dipertimbangkan. Pin halo harus dipuntirkan dengan torsi 2kg pada pasien 2-4
tahun. Pada anak dibawah 2 tahun, kawat yang dipasang melalui 2 lubang burr
mungkin digunakan untuk traksi. Teknik ini memerlukan pengamanan kulit dengan
meletakkan bantalan antara kawat dan kulit. Walau beberapa pasien berhasil
dengan baik dengan tindakan traksi serta immobilisasi lama, sisanya tetap tidak
stabil dan memerlukan fusi terbuka.
Cedera yang primer pada ligamen, seperti DAO, sering tetap tak stabil
setelah terapi konservatif, karenanya dianjurkan sebagai tindakan definitifnya
adalah fusi posterior sesegera keadaan medikal memungkinkan. Fusi dari oksiput
hingga C1 dan C2 (terkadang C3) diperlukan
walau nyatanya hal ini mungkin mengurangi mobilitas tulang belakang servikal
sekitar 50%. Disukai fusi dengan fiksasi kawat dan tandur tulang. Penggunaan
kawat dan metil metakrilat adalah metoda alternatif, dan walau teknik ini
memerlukan pemasangan benda asing, fiksasi internal dapat segera dilakukan. Pasien
yang hidup setelah DAO dalam 48 jam pertama mempunyai outcome yang baik.
Hingga seperempat mungkin dengan neurologis intak, dan 25% lainnya hanya dengan
defisit minor.
2.5
Pemeriksaan
Penunjang
Gambaran Radiologis yaitu diagnosis definitif DAO dibuat berdasar radiograf. Walau temuan
mungkin tidak jelas, adanya hematoma retrofaringeal, yang tak selalu ada, harus
mewaspadakan pemeriksa akan cedera tulang belakang serius. Diagnosis DAO
mungkin dipastikan oleh satu dari beberapa kriteria radiografik. Powers telah
menentukan bahwa hubungan antara basis tengkorak dan C1 ditentukan
oleh rasio panjang dua buah garis. Garis pertama adalah jarak antara basion
dengan arkus posterior C1, dan yang lainnya adalah jarak antara
opistion dan arkus anterior atlas. Rasio rata-rata garis I dan garis II pada
orang normal adalah 0.77. Nilai yang lebih dari satu mungkin menunjukkan DAO.
Rasio ini tak dipengaruhi dimensi, karenanya tidak dipengaruhi pembesaran yang
mungkin terjadi pada posisi film yang tidak baku. Rasio ini tak berlaku pada
pasien dengan anomali kongenital foramen magnum atau fraktura arkus neural
atlas. Rasio mungkin kurang dari satu pada pasien DAO longitudinal atau
posterior. Lee menilai hubungan kraniovertebral dengan cara pasangan garis
(garis-x): sebuah dari basion ketitik tengah garis C2 spinolaminer
(BC2Sl) dan lainnya dari opistion ke sudut posteroinferior dens (C2O). Garis
BC2Sl memotong tangensial aspek posterosuperior dens dan garis C2O memotong
tangensial titik tertinggi garis C1 spinolaminer pada pasien normal
yang berusia lebih dari 5 tahun. Hubungan ini berubah pada DAO.
Metoda
garis-x mungkin lebih sensitif dari rasio Powers. Validitasnya tergantung
hubungan normal C1 dan C2, dan pada lebih dari 50% pasien
dengan DAO, terdapat pemisahan abnormal dari elemen posterior C1 dan
C2. DAO mungkin pula didiagnosa dengan menentukan pertambahan jarak
dari lokasi paling posterior korteks mandibuler terhadap arkus anterior C1
serta proses odontoid. Posisi radiografik yang tepat, dengan film 72 sm,
diperlukan untuk mendapatkan pengukuran yang benar dan hal ini tidak selalu
tersedia di UGD. Metoda ini tidak bernilai pada DAO posterior, karenanya
fraktura mandibuler yang tergeser dapat membatalkan pengukuran. Kaufman
menyelidiki jarak dari kondilus oksipital ke faset superior C1 pada
anak dan mendapatkan jaraknya tidak lebih dari 5mm. Diperkirakan bahwa bila
setiap pergeseran lebih dari 5mm menunjukkan DAO. Pengukuran ini mungkin
didapat dari foto AP ataupun lateral, dan tampaknya terutama berguna dalam
menentukan adanya dislokasi longitudinal. Jarak ini belum dinilai pada orang
dewasa. Terdapat tiga jenis
spesifik DAO: DAO jenis I terdiri dari pergeseran anterior oksiput terhadap C1,
jenis II adalah distraksi longitudinal primer dengan separasi oksiput dari
atlas, dan DAO jenis III bila oksiput dislokasi keposterior dari C1.
2.6
Penatalaksanaan
Sasaran utama pengelolaan
gawat darurat awal pada pasien dengan fraktura dan dislokasi tulang belakang
leher adalah untuk mencegah cedera sekunder terhadap kord spinal maupun akar
saraf. Ini penting bahkan pada pasien yang sudah mengalami transeksi fungsional
kord spinal seketika pada tingkat fraktura. Utuhnya bahkan hanya sebuah segmen
kord spinal diatas tingkat cedera dapat membuat perbedaan yang sangat besar
dalam rehabilitasi jangka panjang pada pasien dengan cedera kord spinal
permanen. Immobilisasi leher saat resusitasi atau penilaian medikal awal sangat
menentukan. Ini sering terabaikan pada pasien pada keadaan akut dengan cedera
berganda dan fungsi vital yang tak stabil. Petugas medis gawat darurat terlatih
untuk melakukan immobilisasi terhadap pasien yang mengalami cedera tersangka.
Kantung pasir atau kolar servikal kaku adalah jenis yang biasa digunakan
petugas sejak tempat kecelakaan. Apapun jenis immobilisasi yang dilakukan, ia
tetap dipertahankan ditempatnya hingga tulang belakang servikal dinilai dengan
radiograf lateral.
Bila fraktura tulang belakang servikal dijumpai, stabilitas fraktura
ditentukan. Semua pasien dengan fraktura tulang belakang servikal yang diperkirakan
tak stabil harus segera diletakkan dalam fiksasi skeletal eksternal dan traksi
dengan ring halo atau kaliper (tong). Beban traksi bervariasi, namun umumnya ditentukan sekitar 3-5 pon
per ruas tulang belakang servikal. Jadi sebesar 15-25 pon digunakan untuk
fraktura C5 tak stabil. Bila sinar-x ulang menunjukkan reduksi tak
lengkap dari pergeseran fraktura atau subluksasi, maka beban tambahan diberikan
hingga fraktura-dislokasi berkurang (maksimum 5kg per tingkat diatas segmen
yang cedera). Pada kebanyakan fraktura-dislokasi tulang belakang servikal akan
dapat diimmobilisasi dan direduksi dengan efektif memakai fiksasi skelet
eksternal dan traksi.
Manipulasi leher berlebihan juga berakibat cedera kord spinal permanen
disaat resusitasi awal pada pasien cedera. Walau mempertahankan jalan nafas
adalah vital, ekstensi yang berlebihan leher disaat intubasi sebelum fraktura
servikal dipastikan harus dicegah. Bila jalan nafas artifisial diperlukan
sebelum film servikal dibuat, maka dilakukan krikotiroidotomi atau intubasi
nasal. Namun intubasi bukan kontra indikasi pada pasien dengan fraktura tulang
belakang servikal asal dilakukan oleh petugas yang berpengalaman, sebaiknya
seorang ahli anestesi terlatih. Pegangan penting atas ada serta beratnya cedera
tulang belakang servikal adalah pelebaran ruang jaringan lunak prevertebral.
Cedera dan ketidakstabilan nyata mungkin tampil dengan tanpa kelainan tulang
yang jelas pada foto polos. Pada keadaan ini bukti cedera hanyalah pelebaran
ruang retrofaringeal atau retro- trakheal. Ruangan retro faringeal membentang
dari pinggir posterior bayangan udara faringeal ke aspek antero- inferior dari
aksis. Pengukuran melebihi 6-7mm pada anak dan dewasa adalah abnormal. Ruang
retrotrakheal ditentukan oleh ruangan jaringan lunak antara batas posterior
bayangan udara trakheal keaspek antero- inferior badan ruas tulang belakang C6. Walau ruang ini bervariasi menurut usia
dan pernafasan, pengukuran yang melebihi 14mm pada anak dan 22mm pada dewasa
adalah abnormal, cedera tulang belakang leher yang bermakna harus diduga.
Penting untuk menampilkan seluruh ruas tulang belakang servikal pada foto
lateral pada pasien yang mengalami trauma yang jelas.
Sering foto pertama tidak memadai menampilkan C7 karena
bertumpuk dengan bahu. Kerusakan kord spinal irreversibel secara sekunder dapat
diakibatkan oleh manipulasi leher pada pasien dengan fraktura atau dislokasi C7
tak stabil disaat C7 tak tampak pada foto pertama. Ada beberapa indikasi untuk pemasangan traksi leher
pada pengelolaan awal cedera tulang belakang servikal:
1.
Immobilisasi tulang belakang servikal
pada pasien dengan fraktura tak stabil.
2.
Reduksi dislokasi atau subluksasi.
3.
Distraksi foramina intervertebral pada
pasien dengan kompresi radikuler.
4.
Mengurangi nyeri yang diakibatkan cedera
jaringan lunak bersangkutan.
Terdapat dua
indikasi yang jelas untuk tindakan operasi
gawat darurat atas fraktura dan dislokasi tulang belakang servikal:
1.
Defisit neurologis progresif.
2.
Adanya cedera kord spinal tak lengkap.
Pada keadaan tersebut operasi hanya dilakukan bila terdapat kompresi ekstrinsik
atas kord spinal yang tampak pada mielografi. Intervensi bedah gawat darurat
untuk stabilisasi atau reduksi jarang diperlukan karena biasanya dapat dicapai
dengan traksi skelet. Walau dilaporkan perbaikan neurologis nyata pada pasien
dengan kehilangan fungsi neurologis lengkap dibawah tingkat cedera yang
mendapat operasi dekompresi dalam 24 jam setelah cedera, umumnya tidak diyakini
bahwa intervensi bedah emergensi selalu diperlukan pada pasien yang menampakkan
kehilangan fungsi neurologis segera dan lengkap dibawah tingkat fraktura pada
saat kecelakaan.
Mekanisme Cedera biasa mengenai penumpang mobil atau
pejalan kaki yang mengalami kecelakaan lalu lintas. Sendi kranioservikal
terdiri dari dua kelompok ligamen yang terpisah. Tengkorak melekat dengan C1
melalui ligamen kapsul sendi, ligamen membran kapsul sendi AO anterior dan
posterior, dan dua ligamen AO lateral. Ligamen krusiat (berstruktur
longitudinal yang berhubungan dengan ligamen transvers atlas) memberikan
stabilitas tambahan pada sendi ini. Harus diingat bahwa kelompok kedua yang
berjalan dari oksiput menuju C2 memberikan struktur penyokong yang
utama pada sendi kranioservikal ini. Pada ligamen ini, dimana termasuk ligamen
dental apikal, pasangan ligamen alar serta membran tektorial, juga membatasi
gerakan ekstrim pada sendi kraniovertebral. Terutama, hiperekstensi dibatasi
oleh membran tektorial dan fleksi lateral oleh ligamen alar (fleksi berlebihan
dibatasi oleh kontak proses odontoid dengan basion). Walau dislokasi kranium
kedepan terhadap tulang belakang servikal terjadi setelah pemotongan ligamen
alar serta membran tektorial, DAO traumatika mungkin mencakup cedera ligamen yang
lebih luas.
Hiperekstensi akan menyebabkan robeknya membran tektorial, dan cedera
ligamen alar disebabkan oleh komponen fleksi lateral yang ekstrim. Terpisahnya
elemen posterior aksis dan atlas, mungkin diakibatkan oleh hiperfleksi, tampak
pada beberapa pasien. DAO tampaknya mempunyai insidens yang tinggi pada
kelompok pediatrik yang mungkin ada kaitannya dengan insidens yang relatif
tinggi akan kecelakaan mobil- pedestrian, dengan immaturitas sendi
kraniovertebral, atau keduanya. Hubungan kranioservikal secara keselu- ruhan,
pada anak tampaknya kurang stabil dibanding dewasa karena dua faktor. Pada
anak-anak dataran sendi diantara kranium dengan atlas hampir horizontal.
Perkembangan kondilus oksipital terjadi bersama dengan maturasi yang akan
memungkinkan sendi kranioservikal berfungsi lebih stabil pada bidang yang lebih
vertikal. Selanjutnya kondilus oksipital pada bayi dan anak tidak terletak
lebih dalam terhadap fossa faset superior atlas. Dengan maturasi, massa
kondiler bertambah dan fossa dari faset superior C1 berkembang lebih
lengkap, dengan akibat persendian yang lebih stabil.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !