CIDERA CERVIKAL - ILMU KEPERAWATAN
Headlines News :

Laskar Keperawatan

!
Home » » CIDERA CERVIKAL

CIDERA CERVIKAL

Written By Unknown on Friday, 22 March 2013 | 03:33



2.1              Definisi
Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb ( Sjamsuhidayat, 1997).
            Sedangkan cedera servikal sendiri adalah cedera pada cervical dimulai dari cervical 1 sampai cervical 7 yang diakibatkan adanya trauma.

2.2              Etiologi

1.    Jatuh dari ketinggian

2.    Kecelakakan lalu lintas

3.    Kecelakakan olah raga


2.3              Klasifikasi
Cedera tulang belakang servikal secara tradisional dibagi atas fraktura dan dislokasi tulang belakang servikal atas serta bawah. Cedera tulang belakang servikal atas adalah fraktura atau dislokasi yang mengenai basis oksiput hingga C2. Cedera tingkat ini jarang pada dewasa, merupakan kurang dari 25% fraktura dan dislokasi pada tulang belakang servikal. Pada anak- anak, kebanyakan cedera tulang belakang servikal adalah terjadi pada tingkat atas. Cedera tulang belakang servikal bawah termasuk fraktura dan dislokasi ruas tulang belakang C3 hingga C7. Ruas tulang belakang C5 adalah yang tersering mengalami fraktura. Cedera pada tulang belakang tingkat bawah lebih sering berkaitan dengan cedera kord spinal, mungkin karena rasio daerah potongan melintang kanal spinal terhadap kord spinal lebih kecil pada tulang belakang servikal bawah dibanding atas. Karena anatomi dan catu vaskuler kord spinal yang unik, berbagai sindroma tidak lengkap dapat dijumpai pada cedera kord spinal servikal. Pada sindroma ini, fungsi sensori dan motor tertentu terganggu atau hilang, namun lainnya tetap utuh.
Cedera sevikal dapat juga di bagi menjadi 4 jenis yaitu :

3
 
1.    Sindroma kord sentral
Paling sering dijumpai setelah suatu cedera hiperekstensi servikal. Karena sebab tertentu seperti keadaan mekanik dan catu vaskuler dari kord, bagian sentral dapat mengalami kontusi walau bagian lateral hanya mengalami cedera ringan. Khas pasien mengeluh disestesi rasa terbakar yang berat pada lengan, mungkin karena kerusakan serabut spinotalamik, mungkin saat ia menyilang komisura anterior. Pemeriksaan fisik menunjukkan kelemahan lengan, dengan utuhnya kekuatan ekstremitas bawah. Sebagai tambahan, sensasi nyeri dan suhu hilang dalam distribusi seperti tanjung. Semua lesi yang menyebabkan cedera primer terhadap kord spinal sentral dapat menimbulkan gambaran defisit serupa, seperti siringo- mielia, tomor kord spinal intrinsik, dan hidromielia. Sindroma ini secara jarang dapat terjadi pada kord spinal bawah (konus medularis).
2.    Sindroma arteria spinal anterior
Terjadi karena arteria ini mencatu substansi kelabu dan putih bagian ventrolateral dan posterolateral kord spinal. Kerusakan arteria ini berakibat sindroma klinis paralisis bi- lateral dan hilangnya sensasi nyeri serta suhu dibawah tingkat cedera, namun sensasi posisi dan vibrasi (fungsi kolom posterior) utuh. Lesi arteria ini bisa karena cedera tulang belakang, neoplasma yang terletak anterior (biasanya metastasis) dan cedera aortik.
3.    Sindroma Brown-Sequard
Pada bentuk yang murni, menunjukkan akibat dari hemiseksi kord spinal. Defisit neurologis berupa hilangnya fungsi motor ipsilateral, sensasi vibrasi dan posisi. Sebagai tambahan, sensasi nyeri serta suhu kontralateral hilang. Luka tembus dan peluru dapat menimbulkan sindroma Brown-Sequard 'lengkap', namun manifestasi tak lengkap sindroma ini tampak dengan berbagai ragam pada lesi lain, termasuk trauma dan neoplasma.
4.    Sindroma kolom posterior
Terjadi bila kolom posterior rusak secara selektif, berakibat hilangnya sensasi vibrasi dan proprioseptif bilateral dibawah lesi. Temuan ini tersering dijumpai sekunder terhadap kelainan sistemik (neurosifilis), namun secara jarang dijumpai setelah trauma kord spinal.
2.4        Manisfestasi Klinis
Gambaran klinis disfungsi neurologis akibat DAO bisa dibagi kedalam lesi yang mengenai batang otak, saraf kranial, kord spinal atas, dan akar saraf spinal. Banyak pasien yang disertai cedera kepala hingga memperrumit gambaran neurologis. Cedera batang otak walau sering pada DAO, tidak selalu tampil lengkap. Postur deserebrasi atau adanya kehilangan fungsi batang otak lengkap mungkin tampak, walau sulit untuk memastikan apakah seluruhnya akibat DAO pada pasien yang disertai cedera kepala. Kerusakan piramidal diskreta mungkin mengakibatkan paraparesis.
Ketidakstabilan kardiopulmoner berakibat bradikardia, respirasi yang irreguler, atau bahkan apnea dapat terjadi setelah kerusakan batang otak. Kerusakan batang otak berat paling mungkin sebagai penyebab kematian yang tinggi. Dislokasi kranioservikal mungkin berakibat avulsi atau peregangan saraf kranial bawah. Saraf kranial keenam, sembilan hingga duabelas, adalah yang terutama berrisiko. Etiologi sebenarnya disfungsi saraf keenam sulit dipastikan pada pasien yang disertai cedera kepala. Hipertensi berat mungkin timbul bila kedua sinus karotid mengalami denervasi setelah cedera saraf kesembilan. Gangguan fungsi kord spinal atas berakibat kuadri- plegia, walaupun hemiparesis lebih sering terjadi pada pasien dengan DAO (setiap disfungsi motori mungkin juga menunjukkan cedera batang otak). DAO traumatika mungkin juga disertai cedera akar servikal.
Cedera unilateral multipel pada akar servikal bisa menyerupai lesi pleksus brakhial. Sebagai tambahan atas kerusakan neural langsung, cedera arteria vertebral mungkin menyebabkan iskemia atau disfungsi neural. DAO berhubungan dengan kompresi, robekan intimal, spasme, dan trombosis pembuluh ini. Beberapa pasien dengan DAO bisa dengan defisit yang timbul tidak sejak awal. Ini mungkin karena trauma tambahan terhadap sistema saraf (sekunder terhadap pergerakan pada tulang belakang yang tak stabil) atau terhadap masalah lain seperti iskemia akibat emboli atau trombosis pembuluh yang rusak. Pasien DAO sering dengan cedera berganda dan karenanya harus dinilai secara lengkap atas cedera lainnya.
Semua korban kecelakaan, terutama dengan cedera kepala dan leher, harus diduga mengalami DAO. Pengelolaan awal adalah mempertahankan ventilasi adekuat dengan tulang belakang servikal diimmobilisasi pada posisi netral. Intubasi nasotrakheal harus dilakukan pada pasien yang memerlukan perlindungan jalan nafas atau menderita distress pernafasan. Bila gagal atau sulit, trakheo- stomi harus segera dilakukan. Terdapat kontroversi akan keamanan dan manfaat traksi pada tahap awal pengelolaan pasien. Walau ada dugaan struktur neural akan terganggu oleh traksi, hingga saat ini hal ini tak pernah dilaporkan dengan jelas.
Pembagian DAO menjadi tiga jenis berguna untuk membimbing terapi awal. Pasien dengan DAO jenis II, masalah primer adalah distraksi longitudinal, karenanya traksi mungkin akan menyebabkan distraksi lebih jauh, karenanya dikontraindikasikan. Namun pada pasien dengan DAO jenis I (anterior) dan III (posterior) dan defisit neurologis, traksi diindikasikan untuk mengembalikan struktur tulang dan untuk mendekompresi elemen neural. Resolusi yang cepat dari defisit neurologis major didapatkan untuk pasien jenis I dan III yang ditindak dengan cara ini. DAO jenis I atau III yang berdiri sendiri-sendiri tidak mutlak merupakan suatu keharusan untuk pemasangan traksi. Bila malalignmentnya hanya minimal, dan/atau defisit ringan, mungkin realignment bisa dipertanggung- jawabkan dengan pengaturan posisi secara hati-hati dengan bantuan fluoroskopi. Hanya pada keadaan mis- alignment yang parah atau defisit neurologis major, traksi bisa dipertimbangkan. Tindakan dengan traksi harus hati-hati, beban 2.5 kg atau kurang. Beban yang berlebihan harus dicegah, pengamatan ketat radiologis dan neurologis diperlukan. Setelah adanya perbaikan dari defisit atau realignment radiografik dari tulang belakang, traksi bisa dikurangi hingga 0.5-1kg, atau bahkan dihentikan serta pasien diimmobilisasi. Setiap traksi dengan beban ringan tersebut harus dilakukan dengan alat halter servikal.
Perhatian khusus diarahkan pada pemeliharaan jalan nafas yang adekuat. Traksi bisa juga dengan tong Gardner-Wells atau ring halo. Anak memerlukan pertimbangan khusus. Setelah usia 4 tahun (dan mungkin sejak dua tahun) sudah cukup perkembangan kalvaria yang aman untuk pemasangan tong. Bila jarak interpin minimal dari tong Gardner-Wells sangat besar untuk memungkinkan fiksasi adekuat dari tengkorak yang masih kecil, tong University of Virginia mungkin merupakan alternatif. Alat halo mungkin juga dipertimbangkan. Pin halo harus dipuntirkan dengan torsi 2kg pada pasien 2-4 tahun. Pada anak dibawah 2 tahun, kawat yang dipasang melalui 2 lubang burr mungkin digunakan untuk traksi. Teknik ini memerlukan pengamanan kulit dengan meletakkan bantalan antara kawat dan kulit. Walau beberapa pasien berhasil dengan baik dengan tindakan traksi serta immobilisasi lama, sisanya tetap tidak stabil dan memerlukan fusi terbuka.
Cedera yang primer pada ligamen, seperti DAO, sering tetap tak stabil setelah terapi konservatif, karenanya dianjurkan sebagai tindakan definitifnya adalah fusi posterior sesegera keadaan medikal memungkinkan. Fusi dari oksiput hingga C1 dan C2 (terkadang C3) diperlukan walau nyatanya hal ini mungkin mengurangi mobilitas tulang belakang servikal sekitar 50%. Disukai fusi dengan fiksasi kawat dan tandur tulang. Penggunaan kawat dan metil metakrilat adalah metoda alternatif, dan walau teknik ini memerlukan pemasangan benda asing, fiksasi internal dapat segera dilakukan. Pasien yang hidup setelah DAO dalam 48 jam pertama mempunyai outcome yang baik. Hingga seperempat mungkin dengan neurologis intak, dan 25% lainnya hanya dengan defisit minor.

2.5        Pemeriksaan Penunjang
              Gambaran Radiologis yaitu diagnosis definitif DAO dibuat berdasar radiograf. Walau temuan mungkin tidak jelas, adanya hematoma retrofaringeal, yang tak selalu ada, harus mewaspadakan pemeriksa akan cedera tulang belakang serius. Diagnosis DAO mungkin dipastikan oleh satu dari beberapa kriteria radiografik. Powers telah menentukan bahwa hubungan antara basis tengkorak dan C1 ditentukan oleh rasio panjang dua buah garis. Garis pertama adalah jarak antara basion dengan arkus posterior C1, dan yang lainnya adalah jarak antara opistion dan arkus anterior atlas. Rasio rata-rata garis I dan garis II pada orang normal adalah 0.77. Nilai yang lebih dari satu mungkin menunjukkan DAO. Rasio ini tak dipengaruhi dimensi, karenanya tidak dipengaruhi pembesaran yang mungkin terjadi pada posisi film yang tidak baku. Rasio ini tak berlaku pada pasien dengan anomali kongenital foramen magnum atau fraktura arkus neural atlas. Rasio mungkin kurang dari satu pada pasien DAO longitudinal atau posterior. Lee menilai hubungan kraniovertebral dengan cara pasangan garis (garis-x): sebuah dari basion ketitik tengah garis C2 spinolaminer (BC2Sl) dan lainnya dari opistion ke sudut posteroinferior dens (C2O). Garis BC2Sl memotong tangensial aspek posterosuperior dens dan garis C2O memotong tangensial titik tertinggi garis C1 spinolaminer pada pasien normal yang berusia lebih dari 5 tahun. Hubungan ini berubah pada DAO.
              Metoda garis-x mungkin lebih sensitif dari rasio Powers. Validitasnya tergantung hubungan normal C1 dan C2, dan pada lebih dari 50% pasien dengan DAO, terdapat pemisahan abnormal dari elemen posterior C1 dan C2. DAO mungkin pula didiagnosa dengan menentukan pertambahan jarak dari lokasi paling posterior korteks mandibuler terhadap arkus anterior C1 serta proses odontoid. Posisi radiografik yang tepat, dengan film 72 sm, diperlukan untuk mendapatkan pengukuran yang benar dan hal ini tidak selalu tersedia di UGD. Metoda ini tidak bernilai pada DAO posterior, karenanya fraktura mandibuler yang tergeser dapat membatalkan pengukuran. Kaufman menyelidiki jarak dari kondilus oksipital ke faset superior C1 pada anak dan mendapatkan jaraknya tidak lebih dari 5mm. Diperkirakan bahwa bila setiap pergeseran lebih dari 5mm menunjukkan DAO. Pengukuran ini mungkin didapat dari foto AP ataupun lateral, dan tampaknya terutama berguna dalam menentukan adanya dislokasi longitudinal. Jarak ini belum dinilai pada orang dewasa. Terdapat tiga jenis spesifik DAO: DAO jenis I terdiri dari pergeseran anterior oksiput terhadap C1, jenis II adalah distraksi longitudinal primer dengan separasi oksiput dari atlas, dan DAO jenis III bila oksiput dislokasi keposterior dari C1.

2.6        Penatalaksanaan
Sasaran utama pengelolaan gawat darurat awal pada pasien dengan fraktura dan dislokasi tulang belakang leher adalah untuk mencegah cedera sekunder terhadap kord spinal maupun akar saraf. Ini penting bahkan pada pasien yang sudah mengalami transeksi fungsional kord spinal seketika pada tingkat fraktura. Utuhnya bahkan hanya sebuah segmen kord spinal diatas tingkat cedera dapat membuat perbedaan yang sangat besar dalam rehabilitasi jangka panjang pada pasien dengan cedera kord spinal permanen. Immobilisasi leher saat resusitasi atau penilaian medikal awal sangat menentukan. Ini sering terabaikan pada pasien pada keadaan akut dengan cedera berganda dan fungsi vital yang tak stabil. Petugas medis gawat darurat terlatih untuk melakukan immobilisasi terhadap pasien yang mengalami cedera tersangka. Kantung pasir atau kolar servikal kaku adalah jenis yang biasa digunakan petugas sejak tempat kecelakaan. Apapun jenis immobilisasi yang dilakukan, ia tetap dipertahankan ditempatnya hingga tulang belakang servikal dinilai dengan radiograf lateral.
Bila fraktura tulang belakang servikal dijumpai, stabilitas fraktura ditentukan. Semua pasien dengan fraktura tulang belakang servikal yang diperkirakan tak stabil harus segera diletakkan dalam fiksasi skeletal eksternal dan traksi dengan ring halo atau kaliper (tong). Beban traksi bervariasi, namun umumnya ditentukan sekitar 3-5 pon per ruas tulang belakang servikal. Jadi sebesar 15-25 pon digunakan untuk fraktura C5 tak stabil. Bila sinar-x ulang menunjukkan reduksi tak lengkap dari pergeseran fraktura atau subluksasi, maka beban tambahan diberikan hingga fraktura-dislokasi berkurang (maksimum 5kg per tingkat diatas segmen yang cedera). Pada kebanyakan fraktura-dislokasi tulang belakang servikal akan dapat diimmobilisasi dan direduksi dengan efektif memakai fiksasi skelet eksternal dan traksi.
Manipulasi leher berlebihan juga berakibat cedera kord spinal permanen disaat resusitasi awal pada pasien cedera. Walau mempertahankan jalan nafas adalah vital, ekstensi yang berlebihan leher disaat intubasi sebelum fraktura servikal dipastikan harus dicegah. Bila jalan nafas artifisial diperlukan sebelum film servikal dibuat, maka dilakukan krikotiroidotomi atau intubasi nasal. Namun intubasi bukan kontra indikasi pada pasien dengan fraktura tulang belakang servikal asal dilakukan oleh petugas yang berpengalaman, sebaiknya seorang ahli anestesi terlatih. Pegangan penting atas ada serta beratnya cedera tulang belakang servikal adalah pelebaran ruang jaringan lunak prevertebral. Cedera dan ketidakstabilan nyata mungkin tampil dengan tanpa kelainan tulang yang jelas pada foto polos. Pada keadaan ini bukti cedera hanyalah pelebaran ruang retrofaringeal atau retro- trakheal. Ruangan retro faringeal membentang dari pinggir posterior bayangan udara faringeal ke aspek antero- inferior dari aksis. Pengukuran melebihi 6-7mm pada anak dan dewasa adalah abnormal. Ruang retrotrakheal ditentukan oleh ruangan jaringan lunak antara batas posterior bayangan udara trakheal keaspek antero- inferior badan ruas tulang belakang C6. Walau ruang ini bervariasi menurut usia dan pernafasan, pengukuran yang melebihi 14mm pada anak dan 22mm pada dewasa adalah abnormal, cedera tulang belakang leher yang bermakna harus diduga. Penting untuk menampilkan seluruh ruas tulang belakang servikal pada foto lateral pada pasien yang mengalami trauma yang jelas.
Sering foto pertama tidak memadai menampilkan C7 karena bertumpuk dengan bahu. Kerusakan kord spinal irreversibel secara sekunder dapat diakibatkan oleh manipulasi leher pada pasien dengan fraktura atau dislokasi C7 tak stabil disaat C7 tak tampak pada foto pertama. Ada beberapa indikasi untuk pemasangan traksi leher pada pengelolaan awal cedera tulang belakang servikal:
1.    Immobilisasi tulang belakang servikal pada pasien dengan fraktura tak stabil.
2.    Reduksi dislokasi atau subluksasi.
3.    Distraksi foramina intervertebral pada pasien dengan kompresi radikuler.
4.    Mengurangi nyeri yang diakibatkan cedera jaringan lunak bersangkutan.
Terdapat dua indikasi yang jelas untuk tindakan operasi gawat darurat atas fraktura dan dislokasi tulang belakang servikal:
1.      Defisit neurologis progresif.
2.      Adanya cedera kord spinal tak lengkap. Pada keadaan tersebut operasi hanya dilakukan bila terdapat kompresi ekstrinsik atas kord spinal yang tampak pada mielografi. Intervensi bedah gawat darurat untuk stabilisasi atau reduksi jarang diperlukan karena biasanya dapat dicapai dengan traksi skelet. Walau dilaporkan perbaikan neurologis nyata pada pasien dengan kehilangan fungsi neurologis lengkap dibawah tingkat cedera yang mendapat operasi dekompresi dalam 24 jam setelah cedera, umumnya tidak diyakini bahwa intervensi bedah emergensi selalu diperlukan pada pasien yang menampakkan kehilangan fungsi neurologis segera dan lengkap dibawah tingkat fraktura pada saat kecelakaan.
Mekanisme Cedera biasa mengenai penumpang mobil atau pejalan kaki yang mengalami kecelakaan lalu lintas. Sendi kranioservikal terdiri dari dua kelompok ligamen yang terpisah. Tengkorak melekat dengan C1 melalui ligamen kapsul sendi, ligamen membran kapsul sendi AO anterior dan posterior, dan dua ligamen AO lateral. Ligamen krusiat (berstruktur longitudinal yang berhubungan dengan ligamen transvers atlas) memberikan stabilitas tambahan pada sendi ini. Harus diingat bahwa kelompok kedua yang berjalan dari oksiput menuju C2 memberikan struktur penyokong yang utama pada sendi kranioservikal ini. Pada ligamen ini, dimana termasuk ligamen dental apikal, pasangan ligamen alar serta membran tektorial, juga membatasi gerakan ekstrim pada sendi kraniovertebral. Terutama, hiperekstensi dibatasi oleh membran tektorial dan fleksi lateral oleh ligamen alar (fleksi berlebihan dibatasi oleh kontak proses odontoid dengan basion). Walau dislokasi kranium kedepan terhadap tulang belakang servikal terjadi setelah pemotongan ligamen alar serta membran tektorial, DAO traumatika mungkin mencakup cedera ligamen yang lebih luas.
Hiperekstensi akan menyebabkan robeknya membran tektorial, dan cedera ligamen alar disebabkan oleh komponen fleksi lateral yang ekstrim. Terpisahnya elemen posterior aksis dan atlas, mungkin diakibatkan oleh hiperfleksi, tampak pada beberapa pasien. DAO tampaknya mempunyai insidens yang tinggi pada kelompok pediatrik yang mungkin ada kaitannya dengan insidens yang relatif tinggi akan kecelakaan mobil- pedestrian, dengan immaturitas sendi kraniovertebral, atau keduanya. Hubungan kranioservikal secara keselu- ruhan, pada anak tampaknya kurang stabil dibanding dewasa karena dua faktor. Pada anak-anak dataran sendi diantara kranium dengan atlas hampir horizontal. Perkembangan kondilus oksipital terjadi bersama dengan maturasi yang akan memungkinkan sendi kranioservikal berfungsi lebih stabil pada bidang yang lebih vertikal. Selanjutnya kondilus oksipital pada bayi dan anak tidak terletak lebih dalam terhadap fossa faset superior atlas. Dengan maturasi, massa kondiler bertambah dan fossa dari faset superior C1 berkembang lebih lengkap, dengan akibat persendian yang lebih stabil.
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Ilmu Dasar Keperawatan | Laskar Keperawatan
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. ILMU KEPERAWATAN - All Rights Reserved
Original Design by Creating Website Modified by Adiknya